Singkat cerita, cita-cita Surya Paloh itu terus bergulir. Gedung sekolah dengan aneka fasilitasnya dibangun. Namanya Sekolah Sukma Bangsa (SSB). Prof Komarudin Hidayat dan Dr Ahmad Baedowi mendesain cetak biru kurikulum SSB sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral. Juga menjadikan kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan sebagai tiga pilar utama.
Sejak awal, cetak biru itu menghadapi ujian di lapangan. Saat proses rekrutmen calon murid, misalnya, berbagai modus dilakukan untuk mengelabui atau menekan tim verifikator. Ada pejabat lokal yang sengaja menitipkan agar kerabatnya bisa diterima sebagai calon murid SSB. Ada pula orang tua yang berlagak kere agar anaknya bisa lulus verifikasi.
Tak cuma itu. Kondisi mencekam dengan taruhan nyawa pun pernah dialami tim verifikator, salah satunya Sahlan Hanafiah. Sejumlah warga di slot gacor gampang menang sebuah dusun menyanderanya hingga tengah malam. Nyawa lelaki kelahiran Pidie yang telah lulus pascasarjana dari UGM itu di ujung tanduk kala sejumlah warga mendesaknya agar anak-anak mereka diluluskan sebagai calon murid. Tapi Sahnan maupun para verifikator lainnya kukuh dengan aturan main yang telah dibuat.
Puncak ujian dan teror terhadap cetak biru kurikulum yang menjunjung tinggi etika dan moral terjadi pada 2012. Kala itu ada 11 murid SMA SSB di Pidie yang kedapatan menyembunyikan kertas sontekan. Mereka pun langsung dikeluarkan.
Keputusan pengurus sekolah membuat para orang tua mereka meradang. Dinas pendidikan setempat, para politikus dan sejumlah tokoh asal Aceh di Jakarta ikut mendesak agar sekolah membatalkan keputusan tersebut. Mereka nyaris berhasil melobi Surya Paloh sebagai pendiri Yayasan Sukma.
Ahmad Baedowi sebagai Direktur Pendidikan Yayasan yang diutus menemui Surya Paloh mengancam. Bila keputusan sekolah dalam menegakkan nilai-nilai etik, moral, dan kejujuran tak lagi mendapat sokongan, kata dia, SSB sebaiknya dibubarkan saja.
Di tahun-tahun pertama, berbagai kecurigaan hingga intimidasi dan teror dialamatkan ke SSB. Sekolah ini pernah dituding mengajarkan liberalisme hanya karena ada sosok Komaruddin Hidayat.
Pengajaran bahasa Inggris ditentang karena dianggap milik orang kafir. Juga pernah ada insiden yang menjurus ke tindakan anarkistis karena SSB dianggap mengajarkan pornografi. Padahal guru biologi cuma menjelaskan anatomi tubuh lewat boneka.
Gesekan juga sempat muncul karena kecemburuan mengingat para guru lebih banyak dari luar Aceh. Tapi hal itu tak terhindarkan karena jumlah guru di Aceh memang sangat kurang akibat banyak guru menjadi korban tsunami.
Lewat buku ini, Fenty tak terkesan tengah mengglorifikasikan Surya Paloh sebagai pencetus ide dan donatur utama sekolah Sekolah Sukma Bangsa. Juga tidak menyanjung Rara Lestari Moerdijat sebagai sosok yang mewujudkan ide Surya Paloh. Tidak juga terhadap Ahmad Baedowi, pakar pendidikan yang mendesain cetak biru sekolah.
Berpengalaman lebih dari 20 tahun sebagai jurnalis membuat Fenty mampu meramu reportase lapangan yang detail menjadi kisah dengan pendekatan yang penuh empatik. Secara umum Fenty berupaya memberi porsi yang seimbang terhadap semua pihak yang terlibat dalam pembangunan dan pengembangan SSB. Dia menguak tentang latar para guru dengan segala suka dan duka mereka mengajar dan membentuk karakter para siswa.